Kamis, 25 Agustus 2011

Menjaganya Selagi Aku Memilikinya

Roda berputar tanpa bisa kembali lagi
Waktu terus berjalan tanpa bisa menoleh ke belakang lagi
Orang-orang datang dan pergi dengan meninggalkan kenangan pahit dan manis dalam hidup kita
Hidup hanya sekali saja
Dan aku akan mempertaruhkan apa pun demi orang yang kucintai

Itulah Dave bagiku. Dia adalah pria tampan yang hadir dalam kehidupanku. Aku berjumpa pertama kali dengannya saat berada di dalam sebuah bis. Aku melangkahkan kaki naik ke atas bis antar kota dan aku melihat sebuah jaket angkatan laut tersampir di sandaran kursi depan tepat di sebelah jendela tanpa pemilik.

Aku terbiasa duduk di kursi depan di bis, apalagi saat itu hanya kursi depan yang tersedia. Aku duduk di sebelah jaket itu berada. Beberapa saat kemudian, masuklah seorang pria tampan berbadan tegap dan berperawakan tinggi, rambutnya pirang keemasan mengombak di terpa angin sepoi-sepoi pagi itu.

Aku belum sepenuhnya menyadarinya, hingga akhirnya dia berada tepat di sampingku dan berkata, "Permisi, apakah saya bisa lewat?" katanya sambil berusaha melewati kakiku.

"Oh, silahkan." kataku sopan sambil memberinya jalan.

Bis akhirnya berangkat meninggalkan stasiun setelah aku menunggu kira-kira 10 menit. Sepanjang perjalanan kami sempat berkenalan dan dia memperkenalkan diri. Setelah itu kami terdiam sejenak.

"Anda mau kemana, Patti?" tanyanya.

"Oh, aku hendak pulang ke rumahku. Aku ingin berakhir pekan bersama ibuku." kataku singkat kemudian aku terdiam kembali.

Aku adalah tipe wanita yang tidak banyak bicara dengan pria asing, namun ia tidak berhenti bertanya dan berusaha ingin mengenalku. Sepanjang perjalanan dia bercerita tentang kepulangannya ke rumah orang tuanya dan segudang kegiatan serta berbagai latihan militernya. Kami melewati ladang-ladang gandum yang sudah menguning sepanjang perjalanan itu, namun ia tidak pernah kehabisan cerita.

Ia , supel, ramah, pandai berhumor, saat itu aku mulai mengetahui bahwa ia adalah pria yang baik hati. Aku merasa dialah satu-satunya pria yang dapat membuatku merasa nyaman di sisinya. Aku tidak menemukan adanya kepalsuan di dalam dirinya, dia terlihat jujur dan murni dan ia tampil apa adanya.

Ia bercerita bagaimana bibinya memakaikannya sweater rajut bergambar Rudolfh (rusa berhidung merah) saat pesta di rumahnya sehingga membuatnya tampak kekanak-kanakan dan ditertawakan semua teman-temannya. Dan betapa bahagianya ia setelah seorang gadis menyebalkan menumpahkan coklat panasnya ke arah sweater barunya itu.

Yeah, aku memahami itu. Kau pasti bahagia karena tidak perlu memakai sweater memalukan itu lagi.

Akhirnya aku tiba di kotaku dan kami berpisah di stasiun karena Dave harus mengambil bis berikutnya dan menuju kota kelahirannya. Dia meminta nomor telefon selularku. Awalnya aku tidak yakin dan ragu, karena kami baru saja berkenalan dan itu bukan hal yang wajar.

"Aku akan meneleponmu, Patti!" Katanya keras-keras sambil melambaikan tangannya.

"Oh, tidak! Siapa pria memalukan itu yang berteriak-teriak memanggil namaku keras-keras." pikirku malu.

Semua orang melihat ke arah kami, aku bisa merasakan pipiku terasa panas dan memerah. Aku tidak menjawabnya dan membalikkan badanku mengambil shuttle bus ke rumahku.

Aku sedang bersantai di rumah membaca buku favoritku, sementara ibu sedang memanggang kue kesukaanku di oven. Semerbak bau coklat memenuhi ruangan dan membuatku semakin ingin bergelung di dalam selimutku.

"Kenakan jaketmu, Patti! Sebentar lagi musim dingin tiba." kata ibu dari dapur sambil menyiapkan makan siang.

"Oke, Mom..." jawabku santai.

Hingga lamunanku dibuyarkan oleh sebuah telefon yang berdering dari selularku. Sebuah nomor asing yang tidak kukenal menghiasi layar ponselku.

"Halooo???" kataku sambil berusaha mengenali penelepon di seberang sana.

"Hai, Patti?" jawab suara pria itu.

"Masi ingat? Sweater rusa dan coklat panas?" lanjutnya.

"Oh, kau? Mengapa meneleponku?" kataku tidak percaya.

"Tidak apa-apa, bukan? Aku tidak sedang melakukan kriminal. Aku hanya ingin menyapamu dan mendengar suaramu saja." katanya ringan.

Itu adalah awal hubungan kami. Dia mulai mengunjungi rumahku dan keluargaku. Ia berjumpa dengan ibuku dan berjabat tangan dengan ayahku. Ibuku mulai mengajaknya makan siang di rumah kami bersama, namun aku menolaknya karena malu.

"Oh, ibu... Untuk apa kau mengundangnya? Jangan membuatku malu, bu." kataku tidak percaya dengan apa yang ibu pikirkan.

"Ayolah, Patti. Dia pria yang baik dan sopan, mengapa kau memperlakukannya dengan tidak sopan." kata ibu sambil menyiapkan salad.

"Dia hanya berpura-pura, bu. Dia ingin mengambil hati kalian berdua." kataku pada ibu sambil melirik ke arah ayah yang sedang membaca koran.

"Oh, Patti sudahlah. Terima dia, dia pria yang baik." kata ibu sambil menuangkan minyak zaitun ke atas saladnya sambil mengaduk-aduknya dengan sendok kayu di kedua tangannya.

"Ting-tong..." suara bel pintu depan berbunyi.

"Ooooh, ini dia datang???" kataku malas.

Aku berusaha menyangkali perasaanku, tidak pernah terlintas di benakku bahwa aku akan berhubungan dengan seorang militer.

"Oh, Patti jaga kelakuanmu." kata ibu, kemudian membuka pintu depan.

"Halo, Dave cepatlah masuklah. Di luar dingin sekali." kata ibu sambil segera menutup pintu.

"Terima kasih Mrs. William, anda baik sekali." jawabnya.

"Mulailah ia dengan basa-basinya." kataku dalam hati dan tidak menghiraukannya.

Akhirnya kami sudah duduk dan makan siang bersama. "Kalkun buatan anda memang nomer 1, Mrs. William." katanya tersenyum.

Ibu membalasnya dengan tersenyum malu-malu sementara aku memutar bola mataku tidak percaya dengan perilaku ibu yang seperti gadis remaja berusia 15 tahun.

"Sudahlah, Dave. Kau pintar memuji. Panggil aku bibi saja. Kau sudah mengenal kami." kata ibu.

"Apakah kau menyukai putri kami?" tanya ibu tersenyum sambil melirik aku.

"Apa??? Ibu!!!" kataku dalam hati sambil melotot ke arah ibu.

"Aku tidak percaya ibu mengatakannya." 

Ibu benar-benar berada di pihaknya dan memberikan dia begitu banyak kesempatan. Hubungan kami terus berjalan karena Dave adalah pria yang tidak mudah menyerah. Dia sering memberikan hadiah-hadiah pada ibu setiap kali berkunjung seolah-olah menyogok ibu supaya bisa mendekatiku.

Berat untuk mengakui bahwa akhirnya aku jatuh cinta dengan seorang pria militer yang berjuang membela negara. Kami menikah dipertengahan abad pada tahun 1938, kami begitu bahagia dan menikmati kebersamaan kami. 

Tiga bulan  berikutnya Dave mendapatkan panggilan dari markas besar untuk ikut dalam pertempuran. Dave pergi meninggalkanku sementara aku hanya bisa menangis menatap kepergiannya. Aku memandangi kereta itu hingga menghilang dari pandanganku. Hatiku sangat hancur dan mengapa negara harus mengambil suamiku untuk ikut dalam pertempuran.

Awal-awal kepergiannya ia mengirimiku surat. Ia sedang berada di camp perbatasan lengkap dengan peralatan perangnya yang dibawanya tidur serta dan terus berjaga sepanjang malam. Bulan demi bulan berlalu, kabarnya semakin jarang kudengar.

Aku mulai berlutut dan berdoa setiap malam supaya Tuhan menjaga dan menolongnya di medan pertempuran. Hampir setahun berlalu, aku mulai tidak sabar dan menantikan kepulangannya. Tidak satu pun kabar atau surat yang kuterima. Dan aku tahu kondisinya pasti sedang tidak mungkin untuk mengirimkan surat padaku.

Aku bertanya di kantor pos apakah ada surat untukku. Aku pergi bertanya ke perwakilan militer negara bagian dan menempuh perjalanan jauh, bila ada kabar dari kesatuan suamiku. Namun mereka tidak mendapatkan kabar apapun.

Aku begitu mengkhawatirkan keselamatannya. Aku berdoa supaya Tuhan membawa suamiku pulang ke pelukanku dalam keadaan selamat dan kami bisa bersatu selamanya.

Perang dunia II meletus pada tanggal 1 September 1939, dan aku bersyukur sebab Amerika Serikat menyatakan mereka tidak ingin terlibat dan sebagian besar warga Amerika merasa Amerika Serikat sebaiknya tetap netral.

Namun, ujian ini belum selesai. Hingga pada tanggal 7 Desember 1941 Jepang mengebom Pearl Harbor dan menewaskan 2.403 jiwa. Sehingga mengakibatkan Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Blok Poros (Jerman, Jepang, dan Italia). Amerika Serikat terlibat dalam dua front, yaitu Front Pasifik melawan Jepang, dan Front Eropa dan Afrika melawan Jerman dan Italia.

Hal ini semakin menguatkan hatiku dan membulatkan tekadku untuk mencari Dave di camp perbatasan. Aku tidak dapat menahannya, aku harus mencari Dave. Akhirnya aku mengajukan diri sebagai relawan di camp pertempuran sebagai perawat dan merawat setiap korban perang.

Aku mengemasi barang-barang pentingku dan membawa barang-barang yang dapat mengingatkanku pada Dave, termasuk baju-bajunya dan mantelnya.

Aku tiba di camp perawatan lengkap dengan baju putih berlengan panjang dan topi perawat, hatiku berdebar-debar dan sangat terenyuh. Aku melihat begitu banyak tentara yang terluka. Darah membanjiri baju mereka, beberapa mengalami luka tembak, ledakkan ranjau dan luka-luka akibat letusan bom di sekitar mereka. Nyawa sama sekali seolah-olah tidak lagi berharga. Aku mendengar letusan di mana-mana. Kengerian dan kegemparan meliputi seluruh wilayah pertahanan pada saat itu.

Namun rumah sakit ini hanya untuk para tentara yang terluka parah sedangkan tentara di medan pertempuran mendapatkan perawatan di camp perawatan di zona perang. Mereka meletakkanku di markas besar karena wanita tidak diijinkan ikut sebagai relawan di zona perang.

Rintihan dan teriakan kudengar di sepanjang selasar. Kami berada di sebuah rumah sakit yang berada di perbatasan. Rumah sakit itu telah di evakuasi dan hanya digunakan untuk menampung setiap tentara yang terluka.

Sebuah bangsal besar dan panjang dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang terletak di atas langit-langit membuat rintihan demi rintihan serasa bergema di sepanjang selasar itu. Aku segera memeriksa tentara-tentara yang terluka sekaligus mencari kalau-kalau Dave juga ada di sana.

Namun aku tidak menemukannya. Aku hanya memiliki 2 buah pilihan, Dave masih selamat atau Dave tewas di pertempuran. Aku sama sekali tidak mau membayangkan sesuatu yang buruk menimpa Dave. Dan aku tahu Dave pasti masih bertahan di luar sana. Ia adalah pria yang tegar dan aku tahu ia pasti selamat karena aku selalu memohonkan supaya Tuhan menjaganya.

Aku membantu dokter melakukan operasi darurat pada para tentara korban ranjau dan bom. Aku membantu pengiriman obat-obatan di tengah medan peperangan. Berbulan-bulan aku berada di sana, namun tidak ada kemajuan mengenai berita Dave.

Suatu hari ketika aku melihat Heidi yang sedang menyusun obat-obatan di dalam kotak. Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Heidi adalah kepala medis yang ditunjuk pada saat itu.

“Heidi, ijinkan aku ikut mengawal obat-obatan ini ke medan pertempuran.” Kataku sambil memegang tangannya.

“Kau sudah gila, Patti. Kau bisa terbunuh di sana.” Katanya tidak percaya.

“Heidi, aku harus mencari suamiku. Aku harus memastikan bahwa dia selamat dan dalam keadaan baik-baik saja.” Jelasku

“Oh, Patti... Aku mengerti perasaanmu... Tapi di sana sedang kacau-balau... Tidak mudah mencari suamimu dalam situasi seperti itu.” Jawabnya sambil menenangkanku.

“Tidak, Heidi. Percayalah padaku, aku akan kembali dengan selamat dengan membawa kotak obat ini. Aku harus menemukannya.” Kataku serius.

Ia akhirnya mengabulkan keinginanku untuk turun ke camp pertempuran. Aku berangkat bersama dengan 5 buah mobil tentara greyhound penuh dengan muatan obat-obatan dan botol-botol kaca berisi obat bius dan cairan pembersih luka, semuanya untuk pertolongan pertama. Obat-obatan ini untuk persediaan hingga 7 sampai 8 bulan. Seorang tentara yang mengemudikan mobil itu. Aku bertanya kalau-kalau dia mengenal Dave, namun ia tidak mengenalnya.

Aku menempuh perjalanan jauh semalam-malaman dan melewati daerah yang belum pernah kulalui sebelumnya. Lambat laun suara-suara ledakkan terdengar semakin keras dan dekat. Dan aku tahu bahwa aku semakin dekat dengan tempat suamiku berada.

Aku berdoa sepanjang perjalanan itu, supaya Tuhan mempertemukan kami berdua. Karena aku mau berada di mana suamiku berada. Aku tidak bisa membiarkannya di luar sana berjuang sementara aku tidak memberikannya pertolongan. Aku tidak akan menyerah sampai aku menemukan suamiku.

Pagi-pagi buta tidak tahu jam berapa, akhirnya aku tiba di camp pertempuran. Aku segera melompat turun dan menurunkan obat-obatanku. Beberapa tentara yang melihatku sangat keheranan melihat seorang wanita berada di camp pertempuran dan mengawal obat-obatan.

Aku membawa masuk sekotak penuh obat-obatan ke dalam camp. Aku mendorong pintu tenda itu dengan punggungku dan berputar masuk melalui pintu camp. Saat aku masuk seluruh tentara memandangiku dengan tatapan keheranan. Aku mengetahui apa yang ada di balik tatapan mereka.

Aku segera mengeluarkan peralatan pertolongan pertama dan segera membalut para tentara yang terluka. Beberapa dari mereka kemudian berdiri dan segera membantuku menolong teman mereka sementara mereka sendiri sedang terluka.

Aku tidak mau mereka bersimpati hanya karena aku seorang wanita. Aku membantu para dokter disana menjahit luka-luka terbuka akibat ranjau atau tembakan.

Berhari-hari aku berada di dalam camp pertempuran itu dan setiap hari aku melihat tentara yang tidak ada habis-habisnya keluar masuk ke dalam camp itu. Aku memeriksa setiap tentara kalau-kalau Dave ada di antara mereka. Tetapi aku tidak menemukannya. Aku bertanya apakah mereka mengenal Dave, Dave Thompson. Namun mereka hanya menggelengkan kepala.

“Nona, bila engkau ke sini hanya untuk mencari suamimu lebih baik kau kembali pulang saja. Ini bukan tempatmu” kata sersan Morris yang menegurku saat itu.

“Keadaan di sini begitu kacau, beberapa pasukan tercerai-berai. Jadi aku harap engkau mengerti.” Lanjutnya.

“Maafkan aku, sersan. Aku masih mau berada di sini, aku akan membantu sekuat tenaga.” Jawabku, aku harus bertahan demi Dave.

Setiap malam aku mendengar letusan bom yang bersusul-susulan dan gencatan senjata. Aku terjaga terus berhari-hari tanpa bisa tidur. Aku hanya sanggup tidur sesaat dan kemudian terjaga lagi begitu ada tentara yang masuk ke dalam camp. Bahkan aku masi bisa mendengarkan suara dentuman tank dan bom dalam tidurku.

Aku masih terus percaya bahwa Dave masih selamat di luar sana. Berminggu-minggu kulalui, aku bertanya pada setiap tentara yang terluka kalau-kalau mereka menemukan Dave. Namun mereka tidak menemukannya. Aku terus menguatkan hati setiap tentara-tentara yang terluka dan aku menawarkan diri untuk berdoa bagi mereka dan keluarga mereka.

Aku berjalan melintasi ranjang-ranjang yang berjajar sepanjang camp sambil memegangi nampan kecil berisi peralatan medis darurat pada salah satu tanganku dan melewati beberapa tentara yang sedang berbaring di ranjangnya.

Seorang tentara yang sedang duduk di atas ranjang tiba-tiba memegang pergelangan tanganku. Tangan kirinya di balut perban dan digantungkan pada lehernya, sementara kepalanya yang terluka dan dibalut perban.

Ia berkata, “Nyonya, suamimu pasti selamat dan kau pasti akan menemukan suamimu. Aku percaya! Aku salut akan kegigihanmu” katanya menguatkan hatiku.

“Aku mengklaim setiap perkataannya bahwa ini adalah peneguhan dari Tuhan atas setiap doa-doaku.” Kataku dalam hati.

“Terima kasih, Tuan. Tuhan memberkati anda.” Sahutku sambil tersenyum ke arahnya.

Bulan demi bulan aku lalui dalam camp itu dan aku berpikir bahwa aku tidak bisa selamanya menunggu kabar yang tidak pasti ini. Semua korban tidak mengetahui di mana keberadaan Dave saat ini.

Aku memutuskan menghadap sersan Morris dan mengajukan diri untuk ikut membantu para korban di medan pertempuran. Aku tidak bisa berdiam diri di sini dan menunggu.

“Tidak, Mrs. Thompson. Anda sudah gila. Tempat itu bukan bagi para wanita.” Katanya menolah tegas.

“Tidak, tuan. Saya sudah memikirkan hal ini matang-matang sebelumnya.” Kataku.

“Kalau anda turun ke medan pertempuran hanya untuk mencari suami anda. Tetap saya katakan tidak.” Tambahnya.

Keputusannya sudah bulat untuk menolakku. Aku keluar dari tendanya dengan perasaan kecewa. Apa lagi yang harus kuperbuat.

“Oh, Dave... Maafkan aku.” Tangisku

Aku berjalan dan tertunduk lesu kembali ke campku sambil memikirkan cara untuk bisa turun ke medan pertempuran. Saat itulah aku sedang melihat Robert – pria kekar dengan baju militer tengah mengangkut beberapa kotak penuh berisi obat-obatan ke dalam mobilnya.

“Oh, Robert... Syukurlah aku bertemu dengan engkau di sini.” Kataku sambil berlari menghampirinya.

“Oh, Mrs. Thompson. Ada yang bisa kubantu?” tanyanya sambil meletakkan kotak besar berisi botol-botol kaca yang terakhir ke dalam mobilnya.

“Robert, ijinkan aku ikut denganmu. Biarkan aku membantumu di garis perang, aku tahu banyak yang bisa kukerjakan disana.” Kataku memohon.

“Oh, Mrs. Thompson. Aku tidak bisa melakukannya. Bagaimana bila sersan Morris mengetahuinya? Ia akan menghukumku.”

“Tidak Robert, tidak. Aku yang akan menjelaskan semuanya. Aku mohon Robert, aku harus menemukan suamiku.” Kataku memohon.

Aku berusaha sekuat tenaga menahan supaya air mataku tidak mengalir.

“Aku mohon Robert. Tolonglah aku kali ini saja. Aku harus bertemu suamiku.”

Robert hanya terdiam sambil memandangku penuh iba.

“Baiklah, Mrs. Thompson. Ambil barangmu dan segera naiklah. Aku tidak bisa menunggumu lama-lama.” Katanya.

Hatiku melonjak kegirangan dan segera berlari mengambil tasku. Dalam waktu semenit aku sudah berada di dalam mobilnya tepat di sebelah Robert.

“Ini gila, Mrs. Thompson... Ini sudah gila..” Katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melihat ke arahku.

“Saya membawa anda dalam mobilku ke garis perang. Ini sudah di luar akal sehat, Mrs. Thompson.” Katanya menyesal sambil terus mengemudikan mobilnya dalam kecepatan penuh.

“Obat-obatan ini harus segera sampai disana. Kalau tidak saya pasti sudah mengembalikan anda.”

“Kau tidak perlu menyesal, Robert. Tuhan memberkati kebaikan hatimu.” Kataku tersenyum.

“Apakah kau sudah menikah, Robert?” tanyaku sambil memandanginya.

“Belum, Mrs. Thompson. Aku baru berusia 25 tahun.” Jawabnya.

“Aku mengenalnya saat aku berusia 25 tahun dan ia berusia 30 tahun, Robert.”  Kataku sambil menundukkan kepala.

“Maksud anda, suami anda?” tanyanya.

“Iya, Robert. Aku sangat mencintainya, namun perang telah mengambilnya dari pelukanku setelah 3 bulan kami menikah.”
Air mata terjatuh begitu saja dari pipiku. Aku baru tersadar selama ini aku sudah menahan air mataku begitu lama. Hampir 4 tahun sudah aku tidak pernah mendengar kabar suamiku. Surat sudah berhenti datang dan semua orang tidak mengetahui keadaan suami dan anak mereka selain melalui radio.

“Mrs. Thompson, maafkan aku. Anda begitu tegar, anda menginginkan suami anda melebihi hidup anda sendiri.” Katanya simpati.

“Tidak apa-apa, Robert. Aku berdoa setiap malam supaya Tuhan memberinya pertolongan.” Kataku tersenyum.

“Tuhan pasti menolong anda, nyonya.” Katanya.

Beberapa jam kemudian aku tiba di sebuah camp kecil. Aku disambut oleh serdadu yang sudah menunggu kedatangan mobil obat-obatan.

“Kita sudah sampai Mrs. Thompson.” Katanya.

Aku turun dari mobil dan kembali tentara-tentara memandangiku dengan tatapan tidak percaya bahwa ada seorang perawat wanita terjun di garis perang. Aku berusaha memantu Robert, namun ia melarangku karena aku seorang wanita. Aku membantunya membawa kotak obat-obatan yang ringan.

Saat aku masuk ke dalam tenda, saat itulah aku melihat Dave sedang duduk di ranjang dengan lengan kirinya terbalut perban. Ia menoleh ke arahku dan terlihat terkejut. Ia bangkit dari ranjangnya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Aku segera meletakkan kotak obatku dan segera berlari ke arahnya. Aku memeluknya dan ia membalas memeluk tubuhku. Ia menciumku dan memelukku erat-erat seakan tidak percaya kalau aku berada di pelukannya saat ini.

“Oh, Dave. Tuhan mendengar doaku. Kau masih hidup, kau selamat.” Kataku terharu. Air mata tidak berhenti mengalir di pipiku.

Aku sadar semua orang sedang memandangi kami penuh haru dan aku tahu bahwa selama ini kami berdua terkoneksi melalui kuasaNya.

“Patti, kau sudah gila. Mengapa kau di sini? Aku mencemaskanmu sepanjang hari, aku memikirkanmu setiap malam. Aku berdoa supaya aku bisa kembali padamu. Aku selalu berjanji bahwa aku tidak boleh tewas di pertempuran karena aku masih memilikimu.” Katanya sambil memegang kepalaku dengan kedua belah tangannya yang kuat dan kemudian ia kembali menciumku dan memelukku.

“Yihhhaaaaaaaaaa!!!” teriaknya sambil menggendong kemudian memutar tubuhku dalam pelukannya.
“Hentikan, Dave... Kau membuatku pusing...” kataku bahagia.

“Kau tidak tahu betapa bahagianya aku bisa bertemu denganmu, Dave.” Aku menciumi seluruh wajahnya yang kotor dan tertutup debu.

“Maaf, Letnan Franklin. Apakah anda adalah suami Mrs. Thompson?” Tanya Robert terbata-bata dengan mata berkaca-kaca. Hidungnya memerah karena menahan tangis.

“Kau yang membawanya kemari, Robert?” Tanya Dave. Robert hanya menganggukkan kepala saja.

“Terima kasih, Robert.” Kata suamiku sambil merangkulnya. Sementara Robert masih kebingungan.

“Yeah, Robert. Dia istriku! Mrs. Patti Franklin Thompson.” Kata Dave memperkenalkanku.

“Tetapi, dia mengatakan suaminya bernama Dave.” Sahut Robert yg masih nampak kebingungan.

“Yeah, itu nama depanku namun aku tidak mengenakannya karena Dave terkesan seperti nama anak-anak di militer.” Jawab Dave tertawa.

“Maafkan aku, Mrs. Thompson. Saya tidak tahu anda sedang mencari Mr. Franklin.”

“Tidak apa-apa, Robert.” Sahutku tersenyum sambil berterima kasih padanya.

Aku dan Dave, kami banyak berbincang malam itu. Aku menanyakan kesehatannya, keadaannya, aku memeriksa lukanya, pengelihatannya, syaraf motoriknya melalui gerakan demi gerakan anggota tubuhnya. Dan tidak ada satu pun yang mengalami luka dalam atau trauma.

Aku membantunya di garis perang dan kami melewatinya semuanya bersama. Amerika melakukan tindakan balasan atas Pearl Harbour hingga pada ekonomi perang. Dan amerika pulang dengan membawa kemenangan pada tanggal 2 september 1949 yang menjadi akhir dari perang dunia II.

A Story by Angela Roseli.

Catatan Sejarah Pearl Harbor Attack:

BATTLESHIPS
Arizona sank at her berth as a result of one or more aircraft torpedoes and about eight heavy bomb hits. One of the bomb hits (estimated as 2,000 pounds) exploded the forward magazines. The ship is considered to be a total wreck except for material which can be salvaged and reassigned. A considerable amount of ordnance material has already been removed, and work is underway in removing the 12-inch guns from turrets three and four.

California sank at her berth as a result of hits by two aircraft torpedoes and one or more near bomb misses. Also received one large bomb hit on starboard upper deck abreast of foremast, which caused a serious 5-inch powder fire. It sank gradually for about three or four days and is now resting rather solidly on a mud bottom. The quarterdeck is under about twelve feet of water, and the port side of forecastle is under about three feet of water.

Nevada struck by one or more aircraft torpedoes and by at least five bombs and two near misses. Each of the near misses caused rupturing of the hull on the port and starboard bows, respectively. One bomb hit in way of foremast caused explosion and fire damage which wrecked the vertical area extending from the second deck to the bridge. Several bomb hits wrecked the forecastle from side to side forward of No. 1 turret, and this damage extended down to the second deck. Fragments from a bomb hit amidships caused considerable local damage to the mainmast, stack, and other structure, and caused many casualties to 5-inch gun crews.

Oklahoma capsized at her berth within eight to eleven minutes after receiving three or more hits by aircraft torpedoes. the hull is 20° to 30° to being up-side down, with a considerable portion of the bottom and starboard side above water.

Pennsylvania one bomb hit in way of after 5-inch gun starboard side. The vessel was in drydock No. 1. The damage from bomb explosion was considerable but not of a vital nature, although there were a large number of casualties and one gun was put out of commission. The damage did not extend below the second deck.

Maryland two bomb hits on forecastle. One small bomb (probably 100 pounds) passed through the forecastle deck forward of the chain pipes and exploded on the maindeck causing only a small amount of damage. The second bomb, (probably 500 pounds) passed through port side of the sip about twelve feet under water and exploded in the C&R storeroom. This explosion wrecked flats and bulkheads in that area, and fragments caused numerous leaks through the sides and bottom. These leaks were temporarily patched without going into drydock.

Tennessee two bomb hits (probably 15-inch shell type). One of the bombs struck the center gun of No. 2 turret causing a large crack which necessitated replacement of the gun. This bomb exploded and did considerable local fragment damage. Another similar bomb struck the top of No. 3 turret and penetrated same in way of a riveted joint. This bomb was a dud and did no serious damage except for putting one rammer out of commission. The Tennessee suffered serious damage aft in officers' quarters due to fire resulting from the great heat caused by the oil fire starting from the Arizona. The shell plates around the stern were somewhat buckled and joints broken.

West Virginia sank at her berth as a result of four or five aircraft torpedo hits and at least two bomb hits. The vessel rests on a hard bottom with all spaces flooded up to two or three feet below the main deck. Most of the damage from torpedoes is in the midship area, which is badly wrecked both below water and above water. A large bomb passed through the foretop and the boat deck and apparently exploded near the port side on the main or second deck. This explosion caused considerable wreckage and a terrific powder and oil fire, which burned out the whole area and extended to the foremast structure up to and including the bridge. A second bomb hit the top of turret III and passed through the 6-inch top. The nature of the penetration indicated defective material. This bomb did not explode but caused damage to the slide of the left gun. Recently another torpedo hole, and parts of the torpedo, have been located aft under the counter. The steering engine room appears to be wrecked and the rudder is lying on the bottom.

CRUISERS
Helena hit at frame 80 starboard side by aircraft torpedo causing the flooding of No. 1 and firerooms and the forward engineroom. The starboard engine was found to be seriously damaged. Temporary repairs to hull were completed at Pearl Harbor, T.H., and the vessel has proceeded to mare Island under two shafts to await permanent repairs.

Honolulu damaged by near miss of large bomb (probably 500 pounds) which passed through dock and exploded fifteen or twenty feet from the port side at frame 40. This explosion caused considerable damage to the hull and resulted in the flooding of storerooms and magazines in that area, and also drowned out the electric power cables of turret II. Most of the flooding resulted from rupture of a magazine flood seachest; the hull of the ship was not opened up but leaked some due to pulled joints and rivets. Permanent repairs were completed at Pearl Harbor, T.H.

Raleigh hit by one aircraft torpedo amidships on port side which flooded out the forward half of the machinery plant. The ship was also hit by one bomb (probably 500 pounds) which passed through three decks and out the ship's side, and finally exploded about fifty feet away. The damage from the explosion was not extensive, but together with the hold made in the side, caused serious flooding on the port side aft. This flooding was out of all proportion to the extent of damage and resulted from inability to close armored hatches tightly against the water head. The bomb struck only a few feet abaft the gasoline stowage. permanent repairs to the hull are being completed at Pearl Harbor, T.H. The vessel will return to Mare Island about the middle of February for permanent repairs to machinery and power leads, this being necessitated primarily by replacement of one boiler and the cast iron turbine casings of engine No. 4.

DESTROYERS
Shaw hit by one bomb while docked on floating drydock; also hit by many fragments from another bomb which struck the drydock. The serious fire following bomb hits resulted in blowing up of forward magazine and heat damage to shell plating in the forward areas. The after part of the ship was not seriously damaged. The Shaw was re-docked on the same drydock on January 26, 1942, for installation of a false bow at about frame 50. The vessel will be ready to proceed to Mare Island under her own power between 01 and 15 February.

Cassin and Downes: Cassin was struck by one bomb and Downes by two (probably 500 pounds). These vessels were in drydock No. 1 ahead of the Pennsylvania. One bomb explosion aft between the two vessels apparently knocked the Cassin partly off the drydock blocking and caused her to fall over on the Downes when the dock was being flooded during the raid. This caused a serious structural failure amidships and considerable local damage in way of the bridge. The torpedo warheads in the starboard tube of the Downes were set off and blew out the maindeck and starboard side of the vessel in that area. This caused some damage to boilers and engines. A serious oil fire followed the explosion and caused extensive damage to the hull of both vessels. Fragments and explosions have caused over 200 holes in the hull of the Cassin and probably well over 400 in the hull of the Downes.
Most of the machinery of both ships has been removed for examination and re-conditioning, and it now appears that the machinery of the Cassin is 98% good and the

Downes about 95% good. Permanent and temporary repairs have been made on the hull of the Cassin to permit her re-floating about February 5, and similar work is proceeding on the Downes.
At present it appears inadvisable to count on the recommissioning of these two vessels as first-line destroyers, but it is likely that repairs can be effected within two to four months which will make the vessels entirely suitable for escort vessels, thus releasing two first-line destroyers from this duty. The Navy Yard, Pearl Harbor, T.H., is working up sketch plans covering suitable arrangements for deck houses, bridge, armament, etc., adequate for an escort vessel. it is generally believed that although the hull of the vessels have been considerably weakened, they will be entirely adequate to carry the considerable reduced load in armament and other topside weights required for an escort vessel.

AUXILIARY VESSELS
Oglala sunk by one aircraft torpedo which passed under the ship from the starboard side and exploded against the starboard side of the Helena. Vessel sank slowly at ten-ten dick, capsized against the dock about 11/2 hours after being struck. This vessel is probably not worth salvaging but plans are being made to remove her from the berth that she now occupies.

Curtiss struck on kingpost starboard crane by Japanese airplane out of control. This resulted in some wreckage and damage due to fire. machinery of the crane was seriously damaged and the radio antennae were put out of commission. one bomb (probably 500 pounds) struck the forward end of the hangar on the port side off the center line, exploding on the second deck. The explosion and resulting fire caused a great amount of wreckage and loss of material. Temporary repairs have been completed and permanent repairs await availability of the ship at the Navy Yard, Pearl Harbor.

Vestal struck by two bombs (probably 500 pounds). One bomb hit forward and exploded in the steel shape storage, which stopped a large part of the fragments and minimized damage considerably. The other bomb struck aft and exploded in the hold, causing a large number of fragment holes through the shell. Flooding aft caused the after part of the vessel to submerge almost to the main deck. The vessel was alongside the Arizona when the raid commenced and was beached at Aeia to prevent further sinkage. Temporary repairs have been completed during a short stay in drydock, and permanent work will be completed when a dock is available.

Utah struck by two, and possibly three, aerial torpedoes capsized at berth. Ship is within a few degrees of being exactly upside down.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar