Jumat, 05 Agustus 2011

Aku Mau Papa Datang...

Saya sedang bergegas menemani David saat itu ke acara "Father's Day" di sekolahnya. Saya sudah berjanji akan datang pagi itu dan melihat acara sekolah berlangsung.

Saya berangkat ke kantor pagi-pagi benar dan menyerahkan beberapa tugas ke sekretaris saya. Sesekali saya melirik jam dinding yang terpaku di ruangan kerja saya dan secepatnya menyelesaikan hal-hal kecil di kantor.

"Kriiiiinggg...", terdengar nada panggil dari ponsel saya. Terdengar sebuah suara kecil yang sangat saya tunggu-tunggu.

"Oh, papa... Akankah Papa datang hari ini?" tanyanya.

"Ya, David.. Papa sedang berusaha menyelesaikan beberapa hal kecil." jawab saya hati-hati.

"David akan naik sebentar lagi, Papa... David bawa puisi buat Papa..." katanya manja.

"Papa akan datang tepat waktu. Jangan kuatir, sayang. Papa mencintaimu."

Telepon terputus dan saya segera merapikan meja kerja dan berangkat. David berusia 5 tahun, dia anak yang sangat periang dan juga aktif. Dia banyak bicara dan selalu bertanya banyak tentang hal-hal baru yang dijelajahinya.

"Suzi, aku mengandalkanmu!" Suzi adalah sekretaris saya.

"Baik, pak." jawabnya.

Saya segera meluncur dengan mobil dan secepat kilat mengemudikannya menuju sekolah. Saya melirik jam tangan di perempatan lampu lalu lintas.
"Ok, hampir jam 10." kata saya dalam hati.

Saya segera membelokkan mobil ke halaman sekolah dan berlari ke aula tempat acara berlangsung. Dengan cepat saya bisa melihat sosok mungil berbaju kuning lemon sedang berdiri membelakangi saya.

"David! Sayang!" panggil saya...

Dia segera menoleh dan berlari dengan tubuhnya yang kecil itu ke arah saya.

"Papa datang, sayang..." kata saya. David segera jatuh ke dalam pelukkan saya dan saya merangkulnya erat-erat. Saya membawa David menuju mamanya.

Saya tahu moment itu adalah moment paling berharga dalam hidupnya. David ingin menunjukkan kebolehannya membaca puisi pada saya. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu saya andalkan, oleh karena itu saya rela mengorbankan apapun demi dirinya. Agar dia mengetahui bahwa saya selalu ada untuk mendukungnya.

Kami bertiga menonton acara "Father's Day" dengan berbagai drama dengan kostum satwa liar dan hutan, beberapa dari anak-anak perempuan kecil mengenakan kostum bunga, beberapa nyanyian, paduan suara, hingga akhirnya tibalah giliran David maju.

Gurunya menjemput David di belakang dan mengantarnya ke belakang panggung.

Hari itu sekitar 500 orang berkumpul di aula, termasuk murid-murid, orang tua murid dan para guru. Saat David maju, saya langsung berdiri dan melambaikan tangan saya tinggi-tinggi, supaya ia melihat bahwa saya masih berada di sana menunggu penampilannya.

David mulai membacakan kalimat pertamanya. Dia menulis bagaimana dia begitu mengandalkan saya, bagaimana saya mengajarinya banyak hal berharga, bermain, belajar, menggambar, menemaninya saat menjelang tidur. Semua kami lalui bersama-sama.

"... Dan Papa tidak pernah terlambat datang saat aku membutuhkannya."

Semua orang bertepuk tangan dan tersenyum melihat David mengakhiri puisinya. Dia segera turun di temani guru kelasnya dan mengantarnya kembali pada kami.

David segera berlari dan memeluk saya. Mukanya memerah dan malu saat saya tertawa dan memuji puisinya.

"Kamu hebat, David. Papa menyukai puisimu." kata saya, sementara dia masih tersenyum malu.

"Papa akan membingkainya di ruangan kerja papa, ok?" kata saya dan David mengangguk dengan gaya malu-malunya kemudian memeluk tubuh saya tanpa berani menatap wajah saya.

Di akhir acara, seluruh siswa TK maju dan membawa sekuntum mawar merah yang segar. Mereka semua berbaris di atas panggung dengan rapi.

Kemudian, seorang guru yang sedang memegang microphone berkata,"Anak-anakku.. Silahkan, berikan mawar yang ada di tangan kalian kepada seseorang yang paling kalian sayangi. Semuanya boleh mulai turun dan berikan pada ayah dan ibu kalian."

Saya melihat David menuruni tangga panggung dan berjalan ke arah saya. Jantung saya berdetak kencang dan saya menjadi gugup hendak menerima bunganya. Perasaan yang sama ketika saya jatuh cinta pertama kali dengan mamanya.

David berjalan makin dekat dan semakin dekat. Langkah-langkah kecilnya mengantarkannya ke pelukkan saya, hingga ia berdiri tepat di depan saya dan menyodorkan mawar merah itu dengan tangan mungilnya.

"Ini buat Papa..." katanya tersenyum manis. Saya segera merengkuhnya ke pelukan saya.

"Terima kasih, Nak... Papa mencintaimu..."

Saya menerima bunganya dan memandanganya dengan penuh senyum.

Kemudian tiba-tiba David memanggil temannya, "Samuel, sini!!!" katanya sambil melambai-lambaikan tangannya.

Saya menolehkan wajah saya ke belakang dan melihat sesosok anak kecil dengan wajah yang nampak kebingungan. Anak kecil itu datang dan mendekati kami berdua.

Saya bertanya,"Mama, papamu di mana?"

Ia menatap mata saya, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memegangi mawar merah yang segar itu dengan tangan kecilnya.

Hati saya merasa iba melihatnya seperti itu. Saya membantunya mencari papa, mamanya karena pikir saya ia mungkin terpisah dari orang tuanya. Singkat cerita saya dan David membantu Samuel mencari kedua orang tuanya sementara istri saya menunggu kami sambil membawa tas sekolah David.

Kami berkeliling dan bertanya ke hampir semua orang di manakah orang tua Samuel. Hingga aula hampir kosong karena sebagian orang tua segera pulang bersama anak-anak mereka setelah menerima mawar itu.

Akhirnya seorang guru datang berjongkok di depan Samuel dan memeluknya. Samuel memberikan bunga itu pada gurunya. Ternyata orang tua Samuel tidak datang siang itu di sekolah.

Saya bisa membayangkan betapa robeknya hatinya saat mengalami itu. Saya mengerti luka yang telah digoreskan oleh kedua orang tuanya siang itu tanpa mereka sadari. Saya tahu Samuel sedang menanti-nantikan papanya datang dan melihatnya bernyanyi, namun ia tidak datang.

Saya meninggalkan sekolah itu makan siang bersama dengan David dan istri saya. Bayangan kekecewaan di wajah Samuel sangat menghantui pikiran saya.

Malam itu saya berdiskusi dengan Eva istri saya mengenai Samuel. Eva pun merasakan hal yang sama, sekalipun hanya melihat Samuel dari jauh saat mencari papanya.

"Saya rasa Samuel tidak akan pernah bisa lupa kejadian itu, va."

"Ia menonton acara itu sendirian di sekolah, sementara teman-temannya yang lain sedang menonton acara itu bersama orang tua mereka."


Saudara, janganlah kita meninggalkan bekas luka pada anak kita saat ia sedang membutuhkan begitu banyak kasih sayang dan perlindungan dari kita.
Karena sebuah kejadian yang kita anggap sepele bagi kita, namun amat berharga bagi dirinya dapat menimbulkan luka yang tidak akan pernah hilang.

Jangan sampai setelah ia dewasa nanti, ia membuang kita karena ia tidak pernah menganggap kita ada saat ia sedang membutuhkan pertolongan dan dukungan kita.

***

"Apa yang Kita Tabur, Itu yang Kita Tuai."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar