Senin, 01 Agustus 2011

Akhir Perjalananku

Aku berjalan cepat melalui koridor kantorku dan bergegas segera mengambil taxiku menuju bandara.

“Mrs. Helen! You forget your documents.” Kata salah seorang sekretarisku yang berlari tertatih-tatih ketika mengejarku.

“Ow, yes. Thank you!” balasku dan secepat kilat pergi masuk ke dalam taxiku.

Aku hendak pulang kembali ke Indonesia dan bertemu dengan anak dan suamiku setelah perjalanan bisnis selama 2 minggu di Hongkong.

Aku mengambil barang-barangku dari bagasi dan mendorongnya di atas trolly menuju tempat check in. Aku segera menuju ruang tunggu dan menelepon anak-anakku untuk mengatakan bahwa sebentar lagi aku akan pulang dan menemani mereka tidur malam ini.

Tak lama kemudian, ada telepon masuk. Aku melihat hand-phoneku dan ternyata suamiku Max menelepon. Dia mengungkapkan betapa tidak sabarnya ia untuk berjumpa denganku.

Max telah membelikanku sebuah kejutan kecil untuk menyambut kepulanganku.

“Oh, sayangku. Kau tidak perlu memberikanku semua ini. Kau sudah memberikanku segala-galanya. Pernikahan yang bahagia, anak-anak yang lucu, memanjakanku dan baik hati, dukungan atas karirku. Kau tidak perlu lagi memberiku apa-apa.” Kataku meyakinkannya.

Tetapi ia tetap memaksaku menerima hadiah kecilnya.

“Iya, sayang. Baiklah! Tapi bukan hadiah yang mahal, ok?” kataku manja.

“Oh, sayang! Pesawatku akan segera berangkat. Mereka telah memanggilku. Aku akan segera menemuimu, aku mencintaimu.” Kataku sambil mengakhiri pembicaraan kami dan menutup hand-phoneku.

Dalam waktu kurang dari 5 menit aku sudah duduk di dalam pesawat kelas bisnis yang kupesan, aku memasang sabuk pengamanku dan segera memejamkan mataku dan membayangkan kedua anakku yang masih kecil.

Aku melirik melalui jendela pesawat sementara pramugari sedang memperagakan alat keselamatan penumpang.

Aku menundukkan kepalaku, melipat tanganku dan mulai berdoa. Aku memohon supaya Tuhan sendiri yang memimpin perjalananku sampai di Indonesia.

Aku menikmati perjalananku selama 5 jam penerbangan itu, para pramugari melayaniku dengan sangat ramah dan bertanya apakah ada yang aku butuhkan. Mereka memberiku selimut, jus bahkan coklat. Aku menikmati makan malamku dan ingin segera beristirahat.

Aku tertidur dan terlelap hingga tiba-tiba aku mendengarkan sebuah ledakkan dahsyat yang membuatku terbangun dan kaget.

Aku berusaha melihat ke sekeliling apa yang sedang terjadi. Semua penumpang berteriak histeris dan panik, pesawat bergoncang dengan luar biasa. Para pramugari berusaha menenangkan seluruh penumpang yang mulai bangkit berdiri dan berteriak.

“Maaf, pak.. Silahkan duduk dulu. Ibu, maaf silahkan tetap mengenakan sabuk pengaman anda. Saya harapkan kepada seluruh penumpang untuk tetap tenang dan tidak meninggalkan kursi anda dengan sabuk pengaman tetap terpasang.” Kata salah seorang pramugari dalam bahasa inggris.

Seluruh penumpang riuh dan ketakutan ada sebagian yang berteriak dan sebagian mulai menangis.

“Aaaaaaaaarrrgghh!!!  Ada api!!!” Teriak salah satu penumpang sambil menunjuk ke arah luar pesawat. Aku segera memalingkan wajahku dan melihat keluar pesawat.

Aku melihat sayap kanan pesawat terbakar hebat dengan mesin turbin jet mengeluarkan asap tebal berwarna hitam.

“Oh, Tuhan! Apa yang sedang terjadi?” Kataku dalam hati.

Tiba-tiba terdengar suara pilot dari arah pengeras suara dalam bahasa inggris. “Seluruh penumpang pesawat, ini kapten William berbicara, kita akan terus terbang selama 30 menit dan akan mendarat di Singapore. Kepada segenap para penumpang dan awak pesawat untuk tetap tenang hingga menunggu pesawat ini tiba di Changi airport. Terima kasih.”

Aku melirik kembali ke luar pesawat dan melihat kobaran api itu semakin besar dan membakar sayap pesawat.

Aku berharap apinya segera padam, namun dugaanku salah. Apinya menjadi semakin besar sementara pilot terus memacu kecepatan pesawat agar sampai di tujuan kami.

Dan aku sadar, malam itu menjadi 30 menit terpanjang dalam hidupku.

Tiba-tiba seluruh ruangan pesawat mendadak sunyi dan hening. Tidak terdengar suara apapun. Seluruh penumpang mulai berdoa.

Aku menutup mataku dan berdoa pada Tuhan.

“Tuhan, bila ini akan menjadi akhir dari perjalanan hidupku. Aku titip anak-anakku, ya Tuhan. Mereka masih kecil-kecil. Aku tahu mereka akan bertumbuh tanpa kehadiranku, tetapi aku percaya Tuhan memberikan mereka kemampuan untuk hidup tanpaku. Aku juga titip suamiku, ya Tuhan. Ia adalah pria paling baik dalam hidupku dan aku berharap dia selalu bahagia.”

Air mata mulai mengalir membasahi pipiku. Aku tidak berhenti menangis malam itu. Aku tidak siap untuk meninggalkan kedua anakku dan suamiku. Mataku terasa panas saat berusaha menahan isak tangisku. Aku menyatukan kedua belah tanganku dan menggenggamnya erat-erat sementara pesawat masih terus bergoncang dengan kuatnya.

Aku melihat pasangan suami istri di sebelahku sedang berpegangan tangan sambil menangis. Aku mendengar seorang suami meminta maaf pada istrinya dan begitu juga istrinya.

Aku kembali mendengar ledakkan kedua dan segera menoleh ke arah sayap pesawat. Sebuah gelembung api melambung dari atas sayap pesawat dan membuatku terbelalak.

Aku segera memalingkan wajahku dan menunduk, aku tidak mau melihat api mengerikan itu lagi.

Semua orang memanjatkan doa bersama-sama. Siap tidak siap kematian suatu saat akan menjemput.

Aku menoleh melalui jendela pesawat, aku melihat lampu-lampu kecil berada di bawah sana. Aku tahu saat itu kami sudah mendekati Changi airport.

“Kapten William berbicara, beberapa menit lagi kita akan melakukan pendaratan darurat. Seluruh penumpang harap memastikan sabuk pengaman tetap terpasang dengan baik. Terima kasih.”

Seluruh pramugari bergerak cepat memeriksa setiap penumpang, memerintahkan mereka menegakkan sandaran kursi, meletakkan tangan pada sandaran kursi di depan mereka, menundukkan kepala dan bersiap melakukan pendaratan darurat.

Aku berdoa sambil menunggu detik-detik menjelang pendaratan darurat.

Aku memegang sandaran kursi di depanku kuat-kuat dan berdoa supaya pendaratan ini berjalan mulus. Keringat dan air mata bercampur mengalir membasahi pipiku.

Aku dapat mendengar dengan jelas roda pesawat mulai diturunkan dan suara sayap pesawat mulai dikembangkan ke belakang dan bersiap melakukan pendaratan.

"Lima... Empat... Tiga... Dua... Satu..."

“Gubraaaakkk!!!” Sebuah benturan hebat menghujam seluruh badan pesawat saat roda pesawat menyentuh permukaan aspal.

Seluruh penumpang berteriak dan menangis.

Seluruh tubuhku gemetar. Keringat membasahi seluruh wajahku. Aku tidak lagi punya kekuatan untuk menopang badanku.

Aku berusaha keras menolehkan wajahku ke arah jendela, sementara pesawat masih berjalan mencari tempat perhentian yang aman.

Aku melihat lampu merah biru menyala-nyala di sekeliling pesawat. Beberapa mobil patroli airport telah mengawal pesawat kami dari kanan dan kiri.

Mobil-mobil pemadam kebakaran dan ambulan telah bersiap di ujung jalan menunggu kami. Seluruh kru bandara, pemadam kebakaran dan para medis telah bersiap-siap di posisi mereka.

Pesawat berhenti bergerak. Pesawat telah berada di posisi amannya.

Aku segera menegakkan kepalaku dan menoleh ke sekelilingku.

Para pramugari segera melepaskan sabuk pengaman mereka dan berlari menuju pintu darurat.

Seluruh penumpang segera berdiri dan mengantri untuk turun.

Seorang pramugari wanita memegang handle pintu darurat dan berusaha membukanya.

“Pintunya macet!” Teriak pramugari itu dan membuat panik kembali seluruh penumpang.

Seorang wanita kaya dan gemuk dengan mengenakan aksesoris gelang dan cincin berliannya yang besar berteriak, “Berapa pun harganya aku bayar! Asal buka pintu itu sebelum kita semua meledak di sini!”

Kata-katanya membuatku tersadar bahwa kekayaanmu tidak berguna saat kematian menjemput.

Uang dan harta benda tidak akan dapat menyogok malaikat maut.

Sesaat kemudian, seorang petugas bandara menolong kami dari luar dan pintu itu akhirnya terbuka.

Sebuah pelampung panjang berwarna kuning segera menggelembung besar dari atas pintu pesawat hingga menyentuh aspal.

Dua buah petugas bandara telah menunggu kami di sisi kanan dan kiri pelampung raksasa itu siap menangkap kami saat meluncur turun dari pesawat.

“Seluruh penumpang diharapkan tidak membawa barang berupa apapun saat terjun ke bawah.” Instruksi seorang pramugari wanita yang sudah terlihat kelelahan.

Satu per satu dari kami segera keluar dan terjun melalui pintu darurat pesawat.

Dengan sergap petugas bandara segera menangkap kami satu per satu sementara petugas medis segera merangkul mereka menuju area pemeriksaan.

“Tetap tertib! Tetap tertib!” kata pramugari itu lagi.

Akhirnya seluruh penumpang meluncur turun melalui pintu darurat dan diikuti oleh pramugari lainnya setelah seluruh pesawat telah dievakuasi.

Pemadam kebakaran segera menyemprotkan air ke sayap kanan pesawat. Setelah seluruh area sekeliling pesawat telah clear. Untuk menghindari ledakkan susulan akibat semprotan tekanan tinggi pemadam kebakaran.

Sebuah bis segera mengantar kami menuju ruang kedatangan. Aku berlari menuju kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak henti-hentinya mengucap syukur.

Aku segera menyalakan hand-phoneku. Begitu hand-phoneku menyala, sebuah panggilan segera masuk dan aku mengangkatnya secepat kilat.

“Max! Oh, Tuhanku! Max” Kataku sambil menangis.

“Sayangku! Kau tidak apa-apa?” katanya terdengar panik.

“Aku menunggumu di bandara saat kutanyakan informasi mengapa pesawatmu belum juga tiba.”

“Aku mengkhawatirkanmu, sayang.  Aku berdoa terus supaya pesawatmu tiba dengan selamat.”

“Maafkan aku, sayang. Aku tidak ada di sana untuk melindungimu.”Tambahnya lagi.

“Oh, Max. Terima kasih, Max. Aku baru tiba di Singapore, Max. Pesawat kami dialihkan ke penerbangan lainnya.” Kataku menenangkannya.

Akhirnya aku tiba di Indonesia.

Aku melihat suamiku telah menunggu di luar dengan raut wajahnya yang terlihat panik.

Aku segera berlari ke arahnya dan menjatuhkan diriku kepelukannya erat-erat. Aku menciumi seluruh wajahnya dan mengecup bibirnya, seakan aku tidak akan pernah melihat dirinya lagi untuk selamanya.

Sesampainya di rumah, kedua anakku Ronny dan Nancy segera berlari ke arahku dan memelukku.

Mereka memberikanku hadiah gambaran tangan mereka yang indah.

Aku melihat gambaran itu dan anakku menggambar Max, Aku, Ronny dan Nancy, kami bergandengan tangan dengan sepasang tangan besar merangkul kami berempat.

Itulah tangan Tuhanku yang selalu menjaga dan melindungi kami sekeluarga.

***

Seseorang yang sudah berada di ujung hidupnya tidak akan lagi berpikir tentang uangnya, karirnya dan hartanya, ia hanya akan memikirkan hal terpenting di hidupnya; keluarganya, anak-anaknya dan suaminya.

Sediakanlah waktu bagi orang-orang yang anda kasihi sebelum waktu itu berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar