Senin, 30 Juli 2012

Pondasi Rumah Tangga


Pondasi rumah tangga berbicara mengenai bagaimana kita berjuang bersama-sama. Apabila pondasi ini tidak seimbang dan hanya salah satu pasangan yang berjuang sedangkan yang satunya hanya menuntut maka akan terjadi kepincangan dalam rumah tangga tersebut.

Yang satu akan menghancurkan dan menghambat yang lain. Berhentilah menuntut! Dan mulailah berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk mendukung dan mencintai suami saya dengan sepenuh hati.

Esensi sebuah rumah tangga adalah bagaimana kita berjuang bersama-sama mencapai tujuan kita. Rencana yang dibangun berdua tetapi satu orang yang bekerja, maka bisa dibayangkan seperti seorang pelari yang berlari sambil menyeret kakinya karena ada beban yang sangat berat yaitu pasangan mereka yang tiada habisnya mengkritik dan memojokkan pasangannya. Bayang-bayang istri yang mengintimidasi membuat para suami berjalan sambil menyeret-nyeret – kasihan sekali suaminya :(

Saya percaya pada saat suami istri bahagia dan kompak, berkat akan datang dengan sendirinya. Berkat tidak akan datang di tengah-tengah pertengkaran dan perpecahan. Konsep pernikahan  adalah bukan untuk menjadi bahagia dan bebas masalah, melainkan untuk membangun sesuatu yang berguna bersama-sama.

Tuhan mau mengukir keberhasilan dalam pernikahan kita, karena itu belajarlah untuk mengerti dan memaklumi kelemahan pasangan anda. Karena itu memang sebaiknya anda menemukan kemiripan dalam diri pasangan anda dan jangan terlalu berlawanan karena akan semakin banyak ketidakcocokan.

Banyak pasangan menjadi tidak puas dengan uang dan akan selalu kurang, kurang dan kurang. Rasa puas dimulai dari dalam, yaitu anda harus puas dengan diri anda sendiri supaya anda juga bisa menghargai pasangan anda.

Amsal 14:29 mengatakan, “ Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.“ Orang yang sabar pasti besar sekali pengertiannya. Kita harus mau belajar untuk mengerti pasangan kita dan jangan menuntutnya terlalu banyak.

Kasih seharusnya memberi dan bukan mengambil. Love must be give not take.

Saya teringat dengan satu kisah di mana, ada seorang suami yang sangat penyayang dan baik tetapi istrinya selalu tidak berhenti mengomelinya dengan berbagai macam alasan. Papa enak pulang makan, nonton tv, mama dari pagi bersihin rumah dan mengasuh anak.

Tanpa banyak bicara akhirnya suami yang lelah dari kantor ini membuat sendiri kopinya dan membantu istrinya menjaga anak mereka yang masih balita.

Setiap hari istrinya selalu meneleponnya dikantor sambil marah-marah dan membentak-bentak suaminya, padahal suaminya sendiri sudah cukup stress dengan pekerjaannya dan deadlinenya. Tetapi sang suami tidak banyak berbicara dan melakukan kehendak istrinya.

Hingga suatu hari dipuncak masalah pekerjaannya yang semakin menekan, sang istri tiba-tiba menelepon suaminya sambil memaki-maki. “Iya, ma… Sabar nanti uangnya papa transferkan, ya?”

Setelah meletakkan teleponnya dan hendak mentransferkan uang istrinya, tiba-tiba sang suami merasakan nyeri hebat di dadanya dan langsung tidak sadarkan diri. Temannya akhirnya membawanya ke Rumah sakit dan ia meninggal dalam perjalanan.

Sang istri segera berlari ke rumah sakit sambil menangis. Ia menggoncang-goncang tubuh suaminya yang sudah tidak berdaya sambil berurai air mata, “Pa, bangun pa! Siapa yang nanti akan mengurus aku dan menyayangiku!” Teriakannya tidak akan bisa menghidupkan  kembali suami tercintanya.

Temannya bercerita bahwa ia memiliki suami yang hebat. Seringkali teman-temannya mengajaknya keluar makan siang, namun ia selalu menolak dengan alasan ia sudah membawa bekal buatan istrinya. Kadang kami melihatnya tidak makan dan ia menjawab, “Bagaimana mungkin aku bisa makan enak dan tertawa sedangkan anak istriku dirumah dan makan apa adanya. Aku harus menabung demi anak dan istriku. Aku tidak bisa melihat mereka menderita.”

Temannya tiba-tiba mengeluarkan sebuah surat yang berisi, bahwa suaminya telah membuat sebuah CV atas nama anaknya. Ia sudah menabung dan membuatkan perusahaan untuk anaknya kelak.

Perkataan temannya itu membuat hati sang istri semakin terenyuh dan hancur. Hingga dalam suratnya sang istri menulis, “Karena akulah suamiku meninggalkan aku selamanya. Ia tidak pernah berbuat jahat padaku, namun aku telah membunuhnya. Jangan pernah anda melakukan hal seperti yang aku lakukan pada suamiku. Bahkan air mata darahpun tidak akan bisa mengembalikan suami tercintaku dalam pelukanku. Kisahku adalah sebuah pelajaran berat yang harus aku kecap dan kini aku harus membesarkan anakku seorang diri tanpa kehadiran papanya yang luarbiasa baik itu.”

Teman-teman, berpikirlah sebelum bertindak. Saya pun tidak pernah akan tega membayangkan diri saya melukai hati suami yang amat sangat mencintai saya dan yang menerima saya apa adanya. Sepanjang hidup saya, baik di abad manapun, di dinasti manapun saya tahu, saya tidak akan pernah menemukan lagi pria seperti dirinya. Bagaimana dengan anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar