Pondasi
rumah tangga berbicara mengenai
bagaimana kita berjuang bersama-sama. Apabila pondasi ini tidak seimbang dan
hanya salah satu pasangan yang berjuang sedangkan yang satunya hanya menuntut
maka akan terjadi kepincangan dalam rumah tangga tersebut.
Yang satu akan menghancurkan dan menghambat yang lain. Berhentilah
menuntut! Dan mulailah berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk mendukung dan
mencintai suami saya dengan sepenuh hati.
Esensi
sebuah rumah tangga adalah bagaimana kita berjuang bersama-sama mencapai tujuan
kita. Rencana yang dibangun berdua tetapi satu orang yang bekerja, maka bisa
dibayangkan seperti seorang pelari yang berlari sambil menyeret kakinya karena
ada beban yang sangat berat yaitu pasangan mereka yang tiada habisnya
mengkritik dan memojokkan pasangannya. Bayang-bayang istri yang mengintimidasi
membuat para suami berjalan sambil menyeret-nyeret – kasihan sekali suaminya :(
Saya
percaya pada saat suami istri bahagia dan kompak, berkat akan datang dengan
sendirinya. Berkat tidak akan datang di tengah-tengah pertengkaran dan
perpecahan. Konsep pernikahan adalah bukan
untuk menjadi bahagia dan bebas masalah, melainkan untuk membangun sesuatu yang
berguna bersama-sama.
Tuhan mau mengukir keberhasilan dalam pernikahan kita,
karena itu belajarlah untuk mengerti dan memaklumi kelemahan pasangan anda.
Karena itu memang sebaiknya anda menemukan kemiripan dalam diri pasangan anda
dan jangan terlalu berlawanan karena akan semakin banyak ketidakcocokan.
Banyak pasangan menjadi tidak puas dengan uang dan akan
selalu kurang, kurang dan kurang. Rasa puas dimulai dari dalam, yaitu anda harus puas dengan diri anda
sendiri supaya anda juga bisa menghargai pasangan anda.
Amsal 14:29 mengatakan, “ Orang yang sabar
besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.“ Orang
yang sabar pasti besar sekali pengertiannya. Kita harus mau belajar untuk
mengerti pasangan kita dan jangan menuntutnya terlalu banyak.
Kasih seharusnya memberi dan bukan mengambil. Love must be
give not take.
Saya teringat dengan satu kisah di mana, ada seorang suami
yang sangat penyayang dan baik tetapi istrinya selalu tidak berhenti
mengomelinya dengan berbagai macam alasan. Papa enak pulang makan, nonton tv,
mama dari pagi bersihin rumah dan mengasuh anak.
Tanpa banyak bicara akhirnya suami yang lelah dari kantor
ini membuat sendiri kopinya dan membantu istrinya menjaga anak mereka yang
masih balita.
Setiap hari istrinya selalu meneleponnya dikantor sambil
marah-marah dan membentak-bentak suaminya, padahal suaminya sendiri sudah cukup
stress dengan pekerjaannya dan deadlinenya. Tetapi sang suami tidak banyak
berbicara dan melakukan kehendak istrinya.
Hingga suatu hari dipuncak masalah pekerjaannya yang semakin
menekan, sang istri tiba-tiba menelepon suaminya sambil memaki-maki. “Iya, ma…
Sabar nanti uangnya papa transferkan, ya?”
Setelah meletakkan teleponnya dan hendak mentransferkan uang
istrinya, tiba-tiba sang suami merasakan nyeri hebat di dadanya dan langsung
tidak sadarkan diri. Temannya akhirnya membawanya ke Rumah sakit dan ia
meninggal dalam perjalanan.
Sang istri segera berlari ke rumah sakit sambil menangis. Ia
menggoncang-goncang tubuh suaminya yang sudah tidak berdaya sambil berurai air
mata, “Pa, bangun pa! Siapa yang nanti akan mengurus aku dan menyayangiku!”
Teriakannya tidak akan bisa menghidupkan
kembali suami tercintanya.
Temannya
bercerita bahwa ia memiliki suami yang hebat. Seringkali teman-temannya
mengajaknya keluar makan siang, namun ia selalu menolak dengan alasan ia sudah
membawa bekal buatan istrinya. Kadang kami melihatnya tidak makan dan ia
menjawab, “Bagaimana mungkin aku bisa makan enak dan tertawa sedangkan anak
istriku dirumah dan makan apa adanya. Aku harus menabung demi anak dan istriku. Aku tidak bisa
melihat mereka menderita.”
Temannya
tiba-tiba mengeluarkan sebuah surat yang berisi, bahwa suaminya telah membuat
sebuah CV atas nama anaknya. Ia sudah menabung dan membuatkan perusahaan untuk
anaknya kelak.
Perkataan temannya itu membuat hati sang istri semakin
terenyuh dan hancur. Hingga dalam suratnya sang istri menulis, “Karena akulah
suamiku meninggalkan aku selamanya. Ia tidak pernah berbuat jahat padaku, namun
aku telah membunuhnya. Jangan pernah anda melakukan hal seperti yang aku
lakukan pada suamiku. Bahkan air mata darahpun tidak akan bisa mengembalikan
suami tercintaku dalam pelukanku. Kisahku adalah sebuah pelajaran berat yang
harus aku kecap dan kini aku harus membesarkan anakku seorang diri tanpa
kehadiran papanya yang luarbiasa baik itu.”
Teman-teman,
berpikirlah sebelum bertindak. Saya pun tidak pernah akan tega membayangkan
diri saya melukai hati suami yang amat sangat mencintai saya dan yang menerima saya
apa adanya. Sepanjang hidup saya, baik di abad manapun, di dinasti manapun saya tahu,
saya tidak akan pernah menemukan lagi pria seperti dirinya. Bagaimana dengan
anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar