Dia adalah seorang pria sejati dan aku adalah seorang gadis manja. Begitulah aku melihatnya. Dia lucu dan penuh dengan cinta. Kami tidak pernah menetap di suatu tempat, kami selalu berpindah-pindah untuk waktu yang cukup lama. Kami menata hidup kami satu per satu hingga akhirnya kami memilih sebuah rumah mungil yang kami sukai.
Saat mengenalnya pertama kali aku merasa seperti menemukan bagian diriku yang hilang. Kami seperti dua buah pohon dengan ranting-ranting yang saling bertautan dan daun-daun yang saling bertemu.
Kami hidup, tertawa dan bercinta bersama. Itu adalah masa-masa yang terindah dalam hidupku. Joshua adalah pria ajaibku.
Kami menjelajahi rumah kami, hati kami dan menemukan rahasia-rahasia kecil kami bersama. Hari demi hari, tahun demi tahun hubungan cinta kami semakin mesra, kami saling memperhatikan, saling menjaga dan saling menghibur. Kami minum kopi bersama dan menghangatkan diri sambil menonton film dan tertawa bersama.
Dia mengajariku begitu banyak hal dan selalu mendukungku. Banyak sekali beban-beban berat yang kulupakan saat aku bersamanya, aku merasa menjadi wanita seutuhnya saat berada di dekatnya. Aku merasa kuat, aku merasa tegar saat bersamanya.
Suatu hari dia tidak datang memenuhi janjinya untuk makan siang bersamaku di bulan november yang dingin. Aku berusaha menelepon ponselnya sepanjang siang itu dan tidak diangkatnya.
Sepulang kerja aku langsung bergegas untuk cepat pulang ke rumah untuk melihat keadaannya. Malam itu perasaanku tidak enak. Biasanya Joshua sudah menungguku di ruang tengah dengan segelas kopi hangatnya.
Saat aku tiba di rumah, pintu rumah tidak terkunci. Aku masuk ke dalam dan rumahku begitu gelap dan sunyi. Jantungku berdegup kencang, aku menyalakan lampu dan berusaha mencari Joshuaku. Aku memanggilnya berulang kali, “Joshua? Joshua?”
Aku mencarinya mengelilingi rumah kami, dapur, kamar, kamar mandi, ruang tengah dan semuanya masi tampak rapi. Aku kemudian mencarinya di garasi belakang. Mobilnya ada di sana, aku menengok sekilas ke belakang mobil. Di sanalah tergeletak Joshuaku sejauh 3 meter, diam tak bernafas.
Rasa takut, bersalah, kehilangan seakan bercampur aduk di pikiranku. Aku segera berlari dan merengkuhnya. Tergeletak di pundakku seperti malaikat yang terjatuh, aku terus memanggil namanya, “Josh, Josh, Oh Tuhan! Josh.”
Hingga saat ini 5 tahun sudah berlalu. Kadang aku tidak mengerti mengapa Tuhan memilih untuk mengambil Joshua dari kehidupanku. Dia tahu aku tidak akan mungkin mampu hidup tanpa Joshuaku. Penyakit jantung telah merebutnya dariku. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku harus hidup tanpa Joshua.
Aku pergi menyepi ke alam liar, ke tempat sebiru air di mana aku dapat menemukan kembali hidupku yang hilang. Aku duduk dan menghirup dinginnya udara pegunungan.
Joshua menyebut tempat itu tanah surga, dia selalu mengajakku ke sana. Tempat itu selalu menjadi tempat rahasia kami berdua. Kami menuruni batu-batu licin di pegunungan dan menemukan air terjun kedamaian. Tempat itu begitu tenang dan sunyi, tempat di mana dunia tampak berbeda.
Joshua selalu menyelamatkan aku dari banyak hal yang menekan hidupku, tapi siapakah yang menyelamatkan Joshua? Dan kini siapa yang dapat menyelamatkan aku dari mimpi burukku.
Aku melingkarkan cincin pernikahan kami di jariku, aku memakai kemejanya setiap hari dan memakai bajunya saat aku tidur di malam hari supaya aku merasa terus dekat dengannya. Aku sangat merindukannya. Siapa yang kini akan memelukku setiap malam. Tidak ada pria seperti Joshua lagi. Dia selalu memberiku keberanian untuk melangkah.
Aku melewati malam demi malam selama bertahun-tahun tanpa kehadiran Joshua.
Perlahan-lahan air mataku mulai mengering, aku sering tertawa sendiri saat mengingat keceriaannya dan menonton beberapa rekaman kami saat bersama. Pelukannya selalu membuat duniaku menjadi hangat. Dia adalah matahariku, matahari yang Tuhan berikan padaku. Aku adalah wanita yang paling beruntung pernah memilikinya dalam hidupku.
Dia selalu melindungi hatinya dengan mencintaiku lebih banyak dan memberikan apa yang bisa dia berikan padaku.
Aku tidak akan pernah melupakan pria ajaibku. Malaikatku yang selalu berdiri dekat di sisiku dan berkata, “Keberanian… Keberanian…”
Inspire by Kyla Merwin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar